Jumat, 28 November 2008

KELUARGA BERENCANA DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Lukman F Mokoginta*)


Dalam lima tahun terakhir, bencana alam tampak semakin sering melanda tanah air. Banjir, tanah longsor, air pasang, kebakaran hutan, kegagalan panen, hingga mewabahnya beragam jenis penyakit, mengalami perkembangan yang signifikan, baik dalam cakupan wilayah maupun intensitasnya.

Berdasarkan data, beberapa tahun terakhir ini hampir sebagian besar kota di Indonesia bahkan di belahan bumi lain pada umumnya kerap diterjang banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, naiknya permukaan air laut, gagal panen (ribuan ha sawah dan tambak gagal karena banjir ), suhu udara semakin panas. Berbagai jenis ancaman yang menyertainya juga semakin beraneka ragam. Mewabahnya berbagai jenis penyakit baru sekitar 30 jenis penyakit ,seperti demam berdarah, Flu Burung, penyakit kulit, ebola dll muncul di seantero dunia sebagai dampak perubahan iklim (menurut penelitian yang dilakukan Al Gore mantan Wapres Amerika pada 10 tahun terakhir), juga busung lapar, lumpuh layu, kelaparan dll tidak terlepas dari lingkungan yang semakin buruk karena berjubelnya manusia dalam satu kawasan, lebih khusus lagi di daerah yang padat penduduk.

Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali mengakibatkan perambahan terhadap ruang-ruang muka bumi yang mestinya tidak boleh dilakukan.Perambahan ini mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan yang pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri.

Telaah kritis serta analisis dari berbagai pakar terhadap hal tersebut pada umumnya bermuara pada kesimpulan, bahwa terjadinya ekskalasi bencana di tanah air memiliki hubungan yang erat dengan kerusakan lingkungan yang juga meningkat akhir-akhir ini. Terjangan banjir bandang di Sumatera seperti Sibolangit, Padang, Solok, Riau; di Jawa seperti Jakarta dan sekitarnya, Banjarnegara, Semarang, Das Bengawan Solo dll, Kalimantan seperti ; Pontianak, Banjarmasin, Palangka Raya , Sulawesi seperti ; di Gowa, Baawakaraeng, Palu, Gorontalo, Minahasa, Bolaang Mongondow, Maluku, Papua. , dan di beberapa tempat, misalnya, pada dasarnya merupakan akibat degradasi lingkungan (hinter land) yang mengganas di kawasan tersebut.

Demikian pula, tergenangnya duapertiga wilayah Jadebotabek (Jakarta, Depok, Bogor Tangerang, Bekasi) dan berbagai wilayah di Indonesia beberapa tahun belakangan ini , sudah jelas merupakan akibat degradasi lingkunganperkotaan di kawasan ini yang antara lain tercermin dengan berkurangnya area resapan air, sistem drainase kota yang tidak memadai.

Meningkatnya ancaman bencana akibat kerusakan lingkungan, tampak semakin nyata ketika banjir Bengawan Solo menerjang wilayah beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur beberapa waktu lampau. Menurut analisis berbagai institusi, kejadian yang diawali dengan terjadinya tanah longsor di Tawangmangu ini, jelas erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) Bengawan Solo, akibat perubahan fungsi lahan yang amat drastis di kawasan tersebut dalam lima tahun terakhir.
Degradasi Lingkungan

Terjadinya degradasi lingkungan hidup di suatu kawasan, kerap dipandang sebagai konsekuensi dari pertumbuhan penduduk, sehingga dinilai sebagai suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Bertambahnya jumlah penduduk dan pada gilirannya mendorong peningkatan kebutuhan akan lahan –untuk pemukiman dan penyediaan sarana penunjang—serta sumber daya alam, memang pada akhirnya dapat menurunkan derajat kualitas lingkungan hidup. Bahkan, bila eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup, sehingga akhirnya menimbulkan berbagai dampak yang dapat mengancam kehidupan penduduk.

Fenomena ini telah terjadi di Indonesia, jauh sejak Indonesia belum merdeka. Akibat laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, serta ketergantungan yang absolut pada sumber daya alam, menyebabkan eksploitasii sumber daya alam menjadi suatu hal yang wajar. Taraf kehidupan masyarakat kian modern pun, tampak belum mampu mengubah pola pandang seperti ini. Bahkan sebaliknya, pertambahan jumlah penduduk, dengan sendirinya memicu peningkatan akan kebutuhan energi dan wilayah. Padahal seperti diakui para pakar, energi fosil yang dipakai saat ini justru tidak ramah lingkungan. Bahkan hal tersebut kini telah menjadi masalah sejagat, karena pencemaran lingkungan oleh polusi dan pembuangan limbah, kerusakan lingkungan karena eksplotasi yang semena-mena,,menimbulkan emisi karbon, yang menimbulkan “efek rumah kaca” yang memicu pemanasan global (global warming) yang berdampak pada perubahan iklim (climate change) sehingga mengancan kehidupan di planet bumi.

Masalah pelestarian lingkungan dan eksploitasi alam memang dilematis, sebab argumentasi yang mendasarinya sama yakni demi peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun, sebagaimana terbukti, eksploitasi alam secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup, tidak selalu mendorong peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Bahkan sebaliknya, justru membawa malapetaka dan melestarikan kemiskinan dari generasi ke generasi.

Pendekatan Berbasis Manusia

Dalam upaya mengatasi kemiskinan, selama ini Indonesia lebih mengedepankan pendekatan tradisional yang berorientasi pada pemanfaatan wilayah dan eksploitasi sumber daya alam. Penyelenggaraan program kolonisasi di jaman penjajahan dan transmigrasi setelah Indonesia merdeka adalah salah satu energi untuk mendorong program dimaksud untuk pemerataan penduduk dan sekaligus menekan pertambahan penduduk di Jawa dan Bali. Akan tetapi, kenyataannya program tersebut belum sepenuhnya memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, memasuki dekade 1970-an, pemerintah menambah energi pendekatan baru yang lebih menitikberat pada pembinaan manusia dengan menekan angka pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Program Keluarga Berencana (the Family Planning).

Ditilik dari aspek lingkungan hidup, esensi keluarga berencana adalah pengendalian pertumbuhan penduduk agar perkembangnya tetap seimbang dengan dayai lingkungan hidup, sebab hanya dengnan demikian, kualitas kehidupan keluarga tetap terjamin, bahkan lebih meningkat sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Dengan adanya keseimbangan antara daya dukungan lingkungan hidup, dengan jumlah penduduk, maka kesenjangan yang menjadi akar penyebab kemiskinan perlahan tapi pasti dapat diatasi.

Kendati pada awalnya program Keluarga Berencana mengundang banyak pertanyaan, namun patut diakui bahwa dalam perkembangannya program tersebut berhasil diterima masyarakat, bahkan menjadi salah gerakan sosial yang efektif dalam peningkatan kualitas hidup manusia . Melalui sosialisasi yang intens, keluarga berencana kini telah memasyarakat dan warga dapat menjalankannya secara swakarsa mandiri, terutama dalam hal pengendalian kelahiran.Ada rasa malu dikalangan warga masyarakat bila mempunyai anak lebih dari dua atau tiga orang.Sayangnya di era reformasi sekarang ini, terasa bahwa program ini mengalami kemandegan.

Sosialisasi tentang pentingnya KB nampaknya mengalami penurunan .Posyandu, terutama daerah pedesaan, tidak sepopuler masa lalu. Namun demikian, sebagai strategi pengentasan kemiskinan, implementasi program keluarga berencana, mesti tetap berlanjut, meski bentuknya lebih bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif yang berkembang di masyarakat. Ini sebab sejak reformasi bergulir di tanah air, gaung keluarga berencana terkesan agak meredup, bahkan seakan-akan tidak lagi dipandang penting karena dianggap bagian dari kebijakan penguasa masa lampau.

Memang harus diakui bahwa pada masa orde baru dirasakan adanya “intimidasi” dari kalangan penguasa untuk mendorong keberhasilan program ini.Untuk saat ini, keberhasilan KB masa lalu sudah dirasakan manfaatnya.Oleh karenanya maka program ini harus diteruskan dengan pola “ntimidasi “ dalam bentuk yang lain melalui pendekatan pelestarian lingkungan.Kalau pada masa itu 2 anak cukup untuk kesejahteraan keluarga, maka dimungkinkan pola sekarang ini dibumbui dengan 2 anak cukup untuk pelestarian lingkungan menuju keluarga yang sejahtera.

Integrasi Program

Sebagai bagian dari strategi nasional dalam mensejahterahkan masyarakat sembari melestarikan lingkungan hidup, Program Keluarga Berencana seyogyanya ditempatkan secara menyatu (integratif) dengan program pembangunan dalam usaha pelestarian lingkungan . Ia tidak hanya terbatas pada soal pengendalian pertumbuhan penduduk, tapi juga harus menyentuh berbagai aspek yang berkaitan dengan penguatan masyarakat.

Dalam konteks itu, maka aspek dan dimensi pelestarian lingkungan hidup tentu sudah saatnya itu tersentuh oleh program keluarga berencana sebab dalam kesadaran global, ancaman terhadap lingkungan hidup tidak hanya dapat mencampakkan manusia ke jurang kemiskinan, tapi juga memicu datangnya bencana yang dapat menghancurkan mata rantai kehidupan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya, strategi pelestarian lingkungan harus menjangkau dimensi kependudukan, agar keduanya berjalan dalam irama yang harmoni.

Sebagai upaya yang berorientasi kepada penguatan masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera, gerakan Keluarga Berencana dan gerakan Pelestarian Lingkungan Hidup, harus berjalan secara paralel dan saling menunjang. Dengan merespons isu-isu lingkungan, gerakan Keluarga Berencana akan terus memiliki nilai aktual dan relevan dengan perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa semakin sesaknya bumi ini oleh manusia, maka semakin besar pula potensi perusakan lingkungan yang melekat didalamnya.Hal ini dapat diartikan bahwa kegagalan dalam program keluarga berencana merupakan pemicu utama dalam perusakan lingkungan karena tidak dapat disangkal bahwa setiiap orang yang ada dimuka bumi ini membutuhkan konsumsi tertentu (butuh air, makanan, pakaian, kesehatan, permukiman, usaha , dll ) yang pada gilirannya menghasilkan limbah tertentu yang mengancam lingkungan hidup.

Berangkat dari pemikiran tersebut diatas, korelasi antara keluarga berncana dan pelestarian lingkungan adalah sangat kuat dan dapat dikatakan seperti dua sisi dalam satu mata uang yang tidak terpisahkan.Sebab dengan menekan pertumbuhan penduduk secara otomatis akan mengurangi intervensi terhadap lingkungan.

Sisi lain dan penting pula untuk dipahami adalah bahwa Keberhasilan Keluarga Berencana dimasa orde baru (memperoleh penghargaan PBB) tidak terlepas dari metode dan kemampuan mengelola program sampai kepada tataran grass root.Sementara, keberhasilan pelestarian lingkungan juga tidak terlepas dari pengendalian tataran akar rumput agar memahami dan sekaligus berpartisipasi dalam usaha pelestarian lingkungan.

Kesimpulan

v Pelestarian lingkungan hidup harus diinternalisasikan dalam program keluarga berencana
v Program Keluarga Berencana yang telah sukses dimasa orde baru, perlu diteruskan diera reformasi.
v Keberhasilan Keluarga berencana dapat mendorong pelestarian lingkungan hidup.


*) adalah Staf Khusus Menteri Negara Lingkungan Hidup RI.

Cintailah Keluarga Dengan Tidak Korupsi

Oleh:
Lukman F Mokoginta*)




Dalam beberapa publikasi internasional tentang korupsi, Indonesia selalu berada pada posisi atas, dengan kata lain termasuk dalam kategori negara yang terkorup di dunia. Penilaian tersebut tentu tidak sekedar tak menyenangkan hati, tapi lebih dari itu membangkitkan rasa sedih. Namun untuk membantah, apalagi menolak penilaian itu tampak juga tidak mudah sebab cukup banyak realitas yang bisa menjadi indikator maraknya korupsi di negeri ini.

Bahkan, pada tahun 1970-an, Bung Hatta dengan getir mengingatkan seluruh bangsa Indonesia, akan adanya indikasi berkembangnya budaya korupsi, tidak hanya di lingkungan birokrasi pemerintah, tapi hampir di semua lapisan masyarakat. Peringatan sang proklamator itu kemudian mengundang polemik, karena ada sebagian pakar membenarkannya, namun tak sedikit elite bangsa ini membantahnya.

Akan tetapi, dari perspektif ilmu sosial, gejala tersebut sebenarnya bisa ditelusuri dari beberapa aspek, diantaranya melalui sejumlah kosakata yang populer di masyarakat, yang substansinya menujnukkan adanya aroma korupsi.

Budaya Korupsi ?

Dalam 10 tahun terakhir, sebuah akronim yakni “KKN” cukup populer menjadi buah bibir masyarakat. Bahkan kata KKN yang sebenarnya merupakan penyingkatan dari “Korupsi – Kolusi - Nepotisme” menjadi salah satu fokus penting dalam agenda reformasi sosial politik setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Fenomena ini setidaknya menjelaskan bahwa masalah korupsi, telah menjadi salah satu isu yang mendominasi alam pikiran masyarakat.
Di sisi lain, tentu juga menandakan adanya pergeseran pola pandang dan tata nilai sosial terhadap praktek korupsi. Secara normatif masyarakat tetap memandang korupsi sebagai perbuatan nista, dan mendatangkan aib bagi yang melakukannya, namun masyarakat sudah tidak malu-malu lagi untuk membicarakannya. Bahkan dalam perkembangannya, masyarakat pun semakin kreatif mengemas peristilahan mengenai praktek korupsi sehingga beragam plesetan, sindiran dan pemeo menjadi cokup populer dalam percakapan sehari-hari.
Suatu penelitian mengungkapkan adanya banyak istilah yang yang beraroma korupsi cukup populer di masyarakat dalam 10 tahun terakhir antara lain:

a. Di Sumatera Utara, misalnya, sudah lama populer kata "Sumut" –yang maknanya dipelesetkan menjadi "Semua Urusan Mesti Uang Tunai." Di Medan ada banyak sebutan untuk “dana pelancar urusan” seperti hepeng par kopi (uang kopi), atau hepeng par sigaret (uang rokok), uang capek, hepeng par pataruon (uang antar), sip-sip, uang tutup mulut, hepeng par hamuliateon (uang terima kasih), dan sebagainya.

b. Di Jakarta --oleh beberapa kalangan dianggap sebagai "pusat korupsi Indonesia"-- ada beragam istilah yang lahir dari kreativitas dunia korupsi, pungli (pungutan liar), suap, sogok, yang antara lain UUD – yang kepanjangannya diplesetkan menjadi "Ujung-Ujung Duwit, " sebagaimana pada syair lagu “Gosip Jalanan” dari Grup Musik “Slank” yang sempat mengusik para anggota DPR. Selain itu ada beberapa istilah dengan makna yang lebih spesifik seperti uang semir, uang pelicin, komisi, nyatut, nembak, uang siluman, uang transport, komisi, prit jigo, nimpe, nyunat, pungli, salam tempel, uang keamanan, delapan enam (86), dan lain lain.

c. Jawa Barat tampak tak mau kalah dalam kreativitas perbendaharaan istilah korupsi. Beberapa istilah yang makna sama --sama-sama beraroma KKN-- antara lain, melon (uang damai yang diberikan kepada petugas di jalan raya), narabas (pemberian uang untuk melancarkan urusan dengan jalan pintas), mecing (minta bagian), susulku duit (segala urusan pakai uang), ngemplang, JPS (plesetan dari Jaring Pengaman Sosial menjadi "Jang Paekeun Sarera" artinya untuk di curi orang, atau "Jang Paekeun Sadayana" artinya, untuk dicuri semua orang).

d. Di Jawa Timur, istilah populer antara lain uang amplop (amplopane rek), duwit meneng (uang diam), angpao, podo kroso (sama merasakan), TST (tau sama tau), uang pelancar, nembak, dan lain lain.

e. Di Sulawesi Selatan, istilah yang akrab dengan perilaku KKN ini antara lain, pamalli kaluru (pembeli rokok), pamalli bensin (pembeli bensin), pa' berre (pelancar urusan), dan lain-lain. Dan di Kalimantan Barat, istilah popular untuk maksud sama antara lain nembak, tahu beres, jalan tol, ekspres, kilat, sepoi. Peribahasa yang berkembang di daerah ini adalah "ada fulus urusan mulus."

Gaya Hidup Mendorong Korupsi

Sejak jaman orde baru dimana penetrasi budaya asing semakin kuat, gaya hidup masyarakatpun segera berubah.Politik pintu terbuka yang dilansir pada masa orde baru telah merambah kemana mana.Almarhum DR Ruslan Abdul Gani yang pada masa orde baru menjabat sebagai Ketua Tim Penasihat Presiden dalam pelaksanaan penataran P4 mengatakan bahwa politik pintu terbuka pada waktu itu telah kebablasan.Yang terbuka bukan hanya pintunya tetapi jendela, dinding dan atap sudah terbuka semuanya sehingga masuknya budaya asing sama sekali tidak bisa dicegah lagi.Kebanggaan menggunakan dan mengkonsumsi produk asing dianggap menaikan gerngsi dihadapan masyarakat.Kendaraan mewah seperti Mercy, BMW , Jaguar dll mencerminkan status seseorang dihadapan masyarakat, anak muda digiring ke budaya disco, ibu-ibu bersaing dengan kemewahan pakaian, perhiasan dan peralatan rumah tangga yang serba mahal buatan luar negeri.Bahkan dimasa awalnya masuk Mc Donald, Kentucky Fried Chicken dan Pizza, konsumsi pun beubah.Antrean pembeli pada saat itu luar biasa panjangnya, sampai ke halaman Sarinah untuk membeli Humburger di Mc Donald dan sampai menunggu ber jam jam untuk membeli KFC.Paasaran pisang goreng dan singkong goreng pun bergeser yang pada akhirnya menyesuaikan dengan pisang goreng dan singkong goreng keju supaya berbau modern. Bapak-bapak pun tidak ketinggalan, dengan kendaraan mewah, meeting di hotel berbintang sambil ngopi produk Italy dan mengisap Cerutu Havana.Banyak hal yang telah berubah pada masyarakat perkotaan di Indonesia dan bahkan sudah merambah ke Desa-Desa.

Peragaan kekayaan dan gaya hidup seperti itu sebenarnya halal halal saja asalkan diperoleh dengan cara yang halal pula.Namun fakta dilapangan menunjukkan bahwa umumnya kalangan pejabat dan pengusaha yang pamer tersebut ternyata adalah mereka yang berkembang karena fasilitas pemerintah dan menempuh jalan KKN.

Pemberantasan Korupsi

Upaya pemberantasan korupsi di negeri ini sudah memiliki sejarah yang panjang. Namun hasilnya, tampak masih jauh dari memuaskan. Bahkan gencarnya penindakan terhadap pelaku korupsi belakangan ini, justru semakin membuka tabir gurita korupsi yang sesungguhnya telah merambah ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, dengan beragam variannya.

Kenyataan ini tentu mengundang pertanyaan seputar penyebab maraknya praktek korupsi. Beberapa kalangan menduga faktor tuntutan kebutuhan keluarga menjadi penyebab utama. Bahkan tak sedikit orang menganggap lingkungan keluarga merupakan pendorong dan sekaligus penikmat hasil korupsi. Dan karena itu pula lingkungan keluarga ditempatkan sebagai pihak yang patut ikut pula menanggung dosa korupsi yang dilakukan oleh seseorang.

Asumsi ini agaknya masih perlu diuji lebih dalam. Namun kenyataan tak terbantahkan, bahwa lingkungan keluarga akan selalu menjadi korban pertama dan utama, disaat pelaku korupsi menghadapi tindakan hukum termasuk publikasi media massa. Implikasi perbuatan korupsi bagi keluarga tentu semakin berat sejalan dengan adanya pembebanan hukuman kepada ahli waris pelaku.

Untuk mencegah berkembangnya budaya korupsi, menjadikan korupsi sebagai dosa turunan memang memilik dasar yang rasional. Paling tidak hal ini dapat menjadi pemicu kesadaran bersama untuk menghindari perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang dapat mencelakakan anak keturunan. Tingginya kompleksitas masalah korupsi, dengan berbagai variannya memang mustahil dapat diatasi hanya dengan penindakan yang tegas, tanpa disertai dengan pencegahan. Dan simpul pencegahan yang paling pertama dan utama tentu berada di lingkungan rumah tangga sendiri.

Malu atau Takut ?

Kalau kita mengajak untuk malu untuk korupsi nampaknya hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.Akan tetapi bila istri , suami atau anak yang meminta kepada bapak atau ibunya , tentu akan lain hasilnya.Malu dan sayang kepada keluarga akan lebih merasuk dalam hati nurani.Pamer kepada tetangga juga perlu malu kalau merasa tidak sesuai dengan penghasilan yang wajar.Bila perasaan malu sudah sulit untuk ditunjukkan, mungkin takut akan hukuman dunia maupun akhirat dapat memberikan dampak positif bagi manusia.Sebab yang paling tahu akan kemampuan kita ataupun penghasilan halal yang diperoleh adalah suami istri itu sendiri atau paling tidak sang pencari nafkah yang tahu persis berapa sebenarnya penghasilan yang diperoleh dan apakah sudah sesuai dengan gaya hidup yang dia dan keluarga lakukan se hari-hari?

Cintailah Keluarga

ECW Neloe, mantan Direktur Utama Bank Mandiri yang saat ini mendekam di Penjara Cipinang karena kasus korupsi mengatakan pada acara kick andy bahwa yang ada dipenjara adalah mereka-mereka yang ketangkap, banyak sekali diluar penjara yang belum atau tidak ketangkap.Coba kita bayangkan perasaan keluarga pada saat menonton acara tersebut.Apakah terbetik dalam pikiran mereka bahwa mereka ikut bertanggung jawab atas penahanan Neloe, ataukah mereka hanya merasa sedih? Tidak ada yang tahu apa yang mereka pikirkan, kita hanya bisa menduga-duga , mungkin keluarganya tidak pernah mengingatkan orang tuanya semasa masih menjadi pejabat.

Peristiwa yang saat ini masih hangat dikalangan publik antara lain tertangkapnya Urip, Al Amin Nasution Anggota DPR RI dan ditahannya mantan Gubernur Kaltim Soewarna AF, Syaukani mantan Bupati Kutai Kartanegara, Saleh Jasit anggota DPR RI, Antony Zeidra Abidin Wkl Gubernur Jambi yang mantan anggota DPR RI dan Hamka Yamdu anggota DPR RI, pernahkah anak istrinya mengingatkan mereka?Masih ada sedikit keyakinan bahwa apabila ada desakan internal kepada mereka , paling tidak akan memberikan dampak terhadap sepak terjang para pencari nafkah tersebut.Sebab apapun, bagi suami, istri, anak, menantu, mertua dan orang tua, ketenangan dan keharmonisan keluarga adalah yang utama dan pertama.Oleh karena itu maka adalah wajib hukumnya bagi keluarga terdekat untuk mengingatkan pencari nafkah dalam keluarganya untuk tidak melakukan korupsi karena pada gilirannya akan akan berakibat fatal bagi seluruh keluarga, baik itu di dunia (bila ketangkap) dan lebih jauh lagi kepada Tuhan Yang Maha Esa , kelak akan mendapat ganjaran setimpal .

Cintailah Keluargamu dengan tidak korupsi dan sayangilah suamimu/istrimu (pencari nafkah) dengan selalu mengingatkannya.Semoga mampu mencegah dan menghadang korupsi pada lini terdepan yakni keluarga. (LFM).

*Ketua Dewan Penasihat AMARTA; Disampaikan pada Seminar Anti Korupsi di Hotel Aston Jakarta 21 April 2008/kerjasama LP3D , Aliansi Masyarakat Jakarta (AMARTA) dan Pemprov DKI Jakarta.

Jumat, 21 November 2008

Bumi Bukan Milik Kapitalis

Oleh : Lukman F Mokoginta


Sejak Indonesia Merdeka 63 tahun yang lalu, berbagai kontradiksi yang terus menerus membelit kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, tentu menjadi pertanda adanya masalah fundamental yang tidak terpecahkan, bahkan kemungkinan tidak disadari bersama. Ancaman krisis energi, kelangkaan bahan pangan, bencana lingkungan berupa banjir, longsor, naiknya permukaan air laut, puting beliung, hadirnya berbagai macam penyakit, musim yang tidak konstan dan cuaca yang cepat berubah.Kejadian itu baru mulai disadari setelah berkumpulnya 2500 pakar lingkungan di Paris tahun 2006 lalu dalam pertemuan IPCC yang kemudian menegaskan bahwa bencana yang kerap terjadi pada dekade terakhir ini merupakan dampak terjadinya perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global.Dipastikan pula bahwa pemanasan global tidak serta merta terjadi, tapi murni merupakan akumulasi ulah manusia yang berlomba-lomba mengeruk bumi untuk membangun kapital se besar-besarnya mulai dari perorangan, kelompok kecil, konglomerat sampai pada tataran negara yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mengatur miliunya, negara sampai pada ekspansi penguasaan negara lain.

Dalam skala global, tidak ada satu negarapun yang bebas dari dampak perubahan iklim.Semua ini tidak lepas dari kapitalisasi yang telah berkembang sejak revolusi industri tahun 1750 , ratusan tahun yang lalu dan semakin lama semakin eskalatif.Tumbuhnya industri sejak James Watt menemukan mesin uap, telah merangsang manusia untuk mengeruk alam , bisnis pertambangan dengan down streamnya, bisnis pangan dengan pertumbuhan industrinya, bisnis properti, bisnis sandang dengan pertumbuhan industri tekstil, bisnis perumahan dengan hadirnya berbagai estat, bisnis informasi dan teknologi informasi serta berbagai kegiatan di darat, laut maupun udara, tidak berdiri sendiri tetapi secara kumulatif memberikan andil dalam pengrusakan alam yang pada gilirannya memacu peningkatan emisi gas buang.

Kehancuran bumi dengan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan , secara kasat mata dapat dilihat bahwa hal itu bukan hanya sebagai akibat dari upaya sekelompok manusia untuk survive dalam hidupnya, namun jelas unsur kekuatan modal menjadi penggerak utama dalam menambang kekayaan alam untuk kepentingan melipatgandakan kapitalnya.


Jebakan Pesona Kapitalisme

Dalam sejarah Indonesia merdeka, eksploitasi sumber daya alam mulai gencar terjadi sejak terbit Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang telah memberi kemudahan bagi pihak asing mengelola sumber-sumber kekayaan Indonesia. UU yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno hanya beberapa saat menjelang pemakzulannya oleh MPRS ternyata menjadi berkat tersendiri bagi para perancang pembangunan era Orde Baru. Penerapan kebijakan politik ekonomi “pintu terbuka” yang kemudian mengintegrasikan perekonomian Indonesia sepenuhnya ke dalam struktur perekonomian internasional, seakan menjadi “karpet merah” bagi Trans National Corporations (TNCs) bebas beroperasi di Indonesia.

Kapitalis asing yang sebelumnya oleh Bung Karno dituding sebagai biang dari kolonialis-imperialis –dan karena itu dianggap sebagai musuh revolusi— justru dielu-elukan oleh para elite Indonesia seakan kehadirannya membawa rahmat bagi negeri ini. Konflik ideologis yang terjadi pada era perang dingin dan masa sebelumnya yang selain menempatkan penganut paham kapitalisme pada posisi berseberangan dengan komunisme, juga menjadi sasaran kritik para pemimpin negara-negara baru bekas jajahan barat, secara tidak langsung mendorong terjadinya metamorfosis kapitalisme sehingga penerapannya menjadi lebih lentur dan kerap berwajah humanis.

Sesungguhnya, performance kapitalisme pasca perang dunia ke dua jauh dari wajah aslinya sebagaimana diulas dalam berbagai literatur. Perubahan ini pula, yang menyebabkan kehadirannya sulit dideteksi sehingga tidak terantisipasi, terutama oleh negara-negara berkembang.

Di Indonesia, kebijakan pembangunan yang berwatak kapitalis di era Orde Baru secara ideologis hadir dengan kemasan melalui akselerasi pembangunan 25 tahun yang sangat menguasai alam pikiran para penggagas pembangunan Indonesia saat itu. Kehadirannya yang mempesona karena dinilai mendorong terjadinya proses modernisasi, seraya menjanjikan masa depan gemilang, atau oleh Rostow disebut sebagai fase “lepas landas” menyebabkan paradigma pembangunan tersebut bisa diterima dengan lapang dada, bahkan cukup laris di berbagai negara berkembang.

Jubah pembangunan yang sebenarnya turun dari kapitalisme, atau kapitalisme berjubah humanisme semakin diyakini dapat memberi solusi terhadap masalah kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara berkembang terutama ketika masyarakat dunia menyaksikan kebangkrutan komunisme yang disertai dengan bubarnya salah satu negara adidaya, Uni Soviet.

Akan tetapi pada prakteknya, pembangunan ternyata tidak mampu menghilangkan watak asli kapitalisme yang rakus dan eksploitatif. Di Indonesia, keadaannya pun menjadi lebih parah akibat dalam fungsi serta perannya, negara cenderung memilih menjadi pengawal dan pelayan kapitalis asing. Akibatnya, penguasaan negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang menjadi amanat konstitusi mengalami distorsi dalam pemaknaannya.

Kekuasaan negara atas bumi serta kekayaan alam, misalnya, kerap diartikan sebagai adanya hak penuh dari negara mengijinkan kapitalis mengeksploitasi semua sumber daya alam dan lingkungan yang ada di negeri ini. Sementara hak-hak masyarakat atas bumi yang diperoleh secara tradisional dan telah eksis turun temurun sering diabaikan. Keadaan ini semakin diperparah oleh karakter pembangunan yang cenderung anti ekologi. Kuatnya pengutamaan terhadap pembangunan ekonomi sering harus dibayar mahal dengan kerusakan ekologi dengan berbagai implikasinya.Ekonomi menjadi panglima dan secara signifikan merubah perilaku manusia menjadi hedonis individualis.

Modernisasi pertanian di pedesaan, misalnya, secara konseptual konon dapat memakmurkan petani, namun yang terjadi justru ketergantungan para petani terhadap industri pertanian yang menjadi produsen pupuk, benih, produsen obat anti hama, dan juga industri pengolah hasil pertanian yang justru dikuasai oleh para kapitalis.

Jadi masalah, kendati sebenarnya telah banyak pengalaman yang bisa jadi indikator kegagalan pembangunan berbingkai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun banyak negara berkembang –termasuk Indonesia—sulit keluar dari kemiskinan. Tumbangnya regim Soeharto yang berkuasa selama 30 tahun , tidak serta merta membawa perubahan yang berarti bagi perekonomian bangsa. Bahkan sebaliknya, kuatnya ketergantungan Indonesia kepada simbol-simbol kapitalis internasional yang hadir dengan dalih membantu negeri ini dari keterpurukan telah membawa bangsa ini kedalam jeratan neokolonialisme- neoimperialisme (nekolim) yang terus menerus mengeruk isi bumi ini. IMF (International Monetery Fund) dan World Bank, adalah bagian dari instrumen kapitalis dalam menjalankan misi neokolonialisnya, yang oleh banyak kalangan dinilai sangat berpengaruh terhadap penentuan berbagai kebijakan politik ekonomi di Indonesia, termasuk pencabutan subsidi BBM yang mengundang rekasi keras dari berbagai kalangan terutama para mahasiswa.

Potensi Kegagalan

Meski saat ini akan sulit melacak kapitalisme dan kolonialisme dengan wajah klasiknya, namun berbagai varian yang muncul kemudian cenderung tidak meninggalkan karakteristik utamanya, yakni fleksibilitas dalam membangun dominasi serta eksploitasi, terutama terhadap sumber-sumber daya strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Menguatnya fenomena globalisasi –akibat kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi—post perang dingin bahkan meyakinkan banyak pihak, bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah globalisasi kapitalisme, dimana peran pemilik modal semakin menentukan wajah dunia disemua aspek.

Pendapat yang sama juga muncul ketika pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu yang merisaukan manusia sejagat, terutama karena gagasan mengatasi masalah tersebut lebih banyak datang dari negara-negara kapitalis, ketimbang negara-negara berkembang yang merupakan elemen paling rentan dari ancaman.

Yang menjadi masalah, banyak diantara penentu kebijakan ikut larut di dalam kesimpulan ini, sehingga cenderung menerima apa adanya. Dan bagi Indonesia, hal ini pula tampak menjadi hambatan untuk keluar dari krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlanjut. Regim berkuasa memang telah berganti, namun logika pemikiran yang membingkai kebijakan-kebijakan pembangunan tampak tak berubah. Masih didasarkan pada logika pembangunan yang berjiwa kapitalisme. Akibatnya, disadari atau tidak, semua potensi bangsa –baik manusia maupun alam-- direduksi dan dipahami sebagai kapital semata, yang pada gilirannya mendegradasi total nilai-nilai sosial.

Penetrasi nilai-nilai baru yang menempatkan pemilikan modal sebagai dewa penolong , memang cukup membius karena selain dampaknya cukup menakutkan, tapi juga menjanjikan keindahan alam kayangan yang menyenangkan bagi bagi setiap orang. Hal ini pula, yang membawa sebagian orang kepada kesimpulan bahwa pada saatnya bumi dan segenap isinya akan menjadi milik kapitalis.

Namun, banyak orang lupa, bahwa nilai-nilai kemanusiaan, tidak akan mungkin dapat direduksi hingga pada titik paling rendah, dan karena itu cepat atau lambat akan bangkit perlawanan terhadap perendahan harkat dan martabat manusia dan lingkungan. Di Indonesia, pembangunan dalam kurun lebih dari tiga dekade memang mampu melahirkan perubahan yang amat fundamental kearah modernisasi. Akan tetapi, masih tebalnya lapisan masyarakat miskin, terjadinya kerusakan lingkungan, rapuhnya ketahanan ekonomi sementara pengurasan kekayaan alam berlangsung dengan dahsyat, niscaya membangkitkan kesadaran rakyat akan kegagalan pembangunan yang berwatak kapitalistik.

Dalam perspektif pertarungan ideologis, kekuatan kapitalis dunia memang berhasil memenangkan pertarungan pada post perang dingin (blok barat vs blok timur), namun persoalannya akan menjadi lain ketika mesti menghadapi tuntutan hati nurani kemanusiaan menentang penjajahan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Alotnya, konflik Utara vs Selatan, yang secara ekonomi politik berwujud pertarungan kepentingan antara negara-negara industri maju dengan negara-negara berkembang, bisa menjadi salah satu indikator kegagalan kapitalisme menguasai dunia, karena bumi memang bukan milik kapitalis, tapi milik Tuhan dan manusia dengan seluruh nilai-nilai kemanusiaannya. Bahkan cukup banyak kejadian yang menunjukan bangkitnya perlawanan sengit terhadap degradasi nilai sosial dan kemanusiaan, antara lain seperti hardikan delegasi Papua Nugini terhadap Amerika Serikat di Konperensi Perubahan Iklim yang lantang menantang dengan ucapan “be a leader or get out.”

Kini setelah 63 Indonesia Merdeka , haruskah kita ferus mendewakan kapitalisme sebagai dewa penyelamat menuju indonesia yang Tata Tentrem Kerta Raharja ? Untuk itu harus ada harga diri yang meyakini bahwa bumi bukan milik kapitalis.

RIWAYAT HIDUP




Nama : Drs. H. Lukman F. Mokoginta,MSi

Tempat, tanggal lahir: Manado, 11 Desember 1949
Alamat: Jl. Janur Hijau Blok JJ No. 4 RT 004/RW 010 Rawa Badak - Koja, Jakarta Utara,Telp. (021) 4302663; 70748427; 0811158427.

Pendidikan: · S1, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.1978
· S2, Bidang Adminmistrasi dan Kebijakan Publik, FISIP Universitas
Indonesia. 2003

Kursus-kursus: · AMDAL LPPM-ITB, 1988
· Penataran P4 Tingkat Nasional BP7 Pusat, 1986
Publikasi: · Buku Jakarta Untuk Rakyat, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Tahun 1999.
· Menulis berbagai artikel di Koran Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia,
Sinar Harapan, Bisnis Indonesia, Suara Karya,W arta Kotadll.
· Juara II Penulisan artikel Pembangunan dalam rangka HUT DKI dan HUT RI
thn 1999.
· Juara I Penulisan Artikel Pembangunan dalam rangka HUT DKI dan HUT RI
tahun 2001.

Pengalaman Organisasi:
2004 -Sekarang: Staf Khusus Menteri Negara Lingkungan Hidup RI
2004: Ketua GIB (Gerakan Indonesia Bersatu) Center Pemenangan SBY-JK dalam Pilpres
2004
2003-sekarang: Ketua Dewan Pengurus Nasional Gerakan Indonesia Bersatu.
1998- 2006: Anggota Kajian Strategis DPP Ikatan Konsultan Indonesia (INKINDO)
1994-1998: Wakil Ketua Umum DPP Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO)
1994-1998: ·Wakil Ketua I DPD Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) DKI Jakarta
· Ketua DPD PDI DKI Jakarta
1994-1999: Ketua Fraksi PDI DPRD DKI Jakarta
1989-1994: Ketua DPC PDI Jakarta Pusat
1990-1993: Sekretaris DPD Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) DKI Jakarta
1976-1978: Ketua Umum Dewan Mahasiswa UGM
1974-1976: Ketua Komisariat Dewan Mahasiswa (Senat) Fakultas Geografi UGM
1972 - 1974: Sekretaris DPC GMNI Yogyakarta


Pengalaman Kerja

2003-sekarang: Ketua Badan Pengawas PD Pasar Jaya Pemda DKI Jakarta
2000-sekarang: Direktur Utama PT. INDOTIMUR UTAMA
1991-sekarang: Komisaris Utama PT Indotimur Mitra Perdana
2000-sekarang: Direktur Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Daerah (LP2D)
1998-sekarang: Ketua Dewan Direktur Lembaga Studi Sosial, Lingkungan dan Perkotaan (LS2LP)
1994-2000: Komisaris Utama PT. INDOTIMUR UTAMA
1990-1994: Direktur Operasi PT FINCODE INTERNASIONAL
1984-1989: Manager PT FINCODE INTERNASIONAL
1979-1983: Staf Ahli PT FINCODE INTERNASIONAL
1978-1979: Staf Ahli PT TIRTA MENGGALA Heavy Construction



Kegiatan Lain :

o Studi banding ke Seatle, Los Angelos dan San Fransisco mengenai, Persampahan dan Lingkungan.

o Ketua rombongan studi banding DPRD DKIJakarta Berlin, Jerman; Paris, Perancis; London, Inggris dan Amsterdam, Belanda. Tentang Tata Ruang Kota dan Penyediaan Air Perkotaan.1997.

o Studi banding ke Kobe Jepang, Baltimore Amerika

o ]Pembicara pada pertemuan anggota parlemen Asia menyongsong abad 21. 1995

o Studi banding Melbourne, Australia tentang pengelolaan Terminal agribisnis.2004.

o Studi Banding ke Vietnam, Thailan dan Malaysia 2006

o Anggota Tim KLH dalam rangka Mou dengan Pemerintah Rusia 2006

o Anggota Team KLH dalam rangka World Summit di New York AS thn 2005


Jakarta, April 2007



Drs. H. Lukman F. Mokoginta.M.Si

Senin, 17 November 2008

Leadership Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Oleh: Drs. Lukman F Mokoginta, M.Si *)

Lingkungan yang baik, merupakan lingkungan yang memberikan nilai tambah bagi kehidupan machluk didalamnya yakni manusia. dan bahkan lebih dari itu harus mampu memberikan keamanan, kenyamanan, kesehatan, kesejahteraan bagi setiap orang. Karenanya, berbagai potensi yang ada dalam suatu lingkungan memerlukan penyesuaian , pengaturan dan pengelolaan yang disusun secara baik dalam koridor perencanaan, pengawasan dan implementasi yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak.Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam suatu lingkungan yang diharapkan perlu adanya keseimbangan antara berbagai aspek yang ada didalamnya.Disadari , berubahnya suatu lingkungan dari rona awal, dominan merupakan perbuatan manusia dalam usaha mengeksploitasi alam untuk kepentingannya.Pada waktu peradaban manusia masih rendah, perambahan alam terjadi dalam 2 modus operandi yakni masyarakat yang masih memperhitungkan masa depan lingkungan untuk kepentingannya dengan pola kearifan lokal, sementara dipihak lain adalah masyarakat yang tidak peduli akan akbat perbuatannya.

Di era masyarakat beradab (baca Modern), campur tangan pemerintah dan kelompok peduli lingkungan menjadi keniscayaan dan diatur dalam undang undang maupun peraturan yang mengikat.Tidak cukup adanya UU maupun peraturan, pengelola pemerintahan (baca pemimpin) merupakan unsur penting dan sentral dalam usaha menjaga dan memanfaatkan lingkungan secara bijak.

Dipahami bahwa akibat perusakan dan pencemaran lingkungan, kondisi bumi kita sudah dalam tahap darurat.Pemanasan Global yang mengakibatkan Perubahan Iklim dengan berbagai dampak negatif, saat ini bukan lagi merupakan wacana.IPCC dalam sidangnya di Paris 2007 yang dihadiri oleh 2500 pakar lingkungan se-dunia telah menetapkan bahwa diperlukan antisipasi menghadapi perubahan iklim, tanpa adanya usaha itu akan terjadi malapetaka yang dapat menghancurkan bumi dan peradabannya.

Berbagai masalah tersebut, perlu mendapat perhatian karena hingga kini masih menjadi problema utama bagi masyarakat dunia, dimana indonesia adalah bagian yang penting dan termasuk rawan menghadapi perusakan maupun pencemaran lingkungan dan sudah barang tentu akan memberikan kontribusi terhadap lajunya perubahan iklim.Perusakan hutan yang secara kontinyu terjadi setiap tahun, kontribusi transportasi dan industri terhadap emisi gas buang semakin besar pengaruhnya, perusakan alam akibat pertambangan, pertanian, perikanan dan lain-lain , pertambahan penduduk yang tinggi dengan segala kebutuhannya semakin menambah rumit dan kompleksnya pengelolaan lingkungan.Sebagai contoh, sampai saat ini pengelolaan kota dan industri yang ramah lingkungan masih jauh dari harapan.Penghargaan Adipura , propher, Adiwiyata, Kalpartaru, MIH masih terus didorong oleh pemerintah dan secara umum masih melekat kebanggaan ( baca kesombongan) dari pihak pengelola, bukan merupakan hal yang sudah seharusnya.

Pengalaman empirik menunjukan bahwa faktor utama yang memberikan andil penting dalam usaha pengelolaan lingkungan secara baik adalah faktor leadership yang melekat pada pemimpinnya . Kemampuan menahan diri untuk tidak merusak lingkungan dan menyadari keberlanjutan pembangunan , acap kali hanya menghiasi bibir pemimpin atau kemasan slogan dengan baliho dan iklan yang mahal tapi seringkali pula tidak sesuai dengan fakta di lapangan.


Kita tentu tidak perlu berkecil hati, karena dari berbagai sumber yang cukup dapat dipercaya, masih ada pemimpin kita yang memiliki leadership yang kuat.Penghargaan ADIPURA misalnya, Kepemimpinan yang kuat mampu mendorong aparat dan rakyatnya untuk bergandeng tangan peduli dengan kebersihan dan keteduhan kota.Bila faktor pemimpin dan kepemimpinan merupakan faktor penentu keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup, maka dengan mengamati karakteristik kepemimpinan, tampak ada kesamaan dasar yang menjadi ciri kepemimpinan yang mereka jalankan yang secara sederhana disebut “ 5 K” yakni:
a. Komitmen, artinya memiliki komitmen kuat membangun dan menata lingkungan agar menjadi lebih baik.
b. Konsistensi, artinya secara konsisten mewujudkan komitmen tersebut ke dalam seluruh program pembangunan , termasuk dalam proses membangun partisipasi masyarakat.
c. Koordinasi, artinya , mampu mengkoordinasikan pembangunan secara baik dengan pembagian tugas yang jelas dan sesuai dengan program serta pelaksananya.
d. Ketulusan, artinya setiap kegiatan pembangunan semata mata untuk pembangunan berkelanjutan dengan upaya memperkecil dampak negatif yang mungkin timbul.
e. Kontinyu, artinya, komitmen tersebut dipelihara dan dilaksanakan secara terus menerus, bukan hangat tahi ayam, sehingga hasil yang diperoleh merupakan akumulasi dari keberhasilan yang dicapai pada setiap kurun waktu.

Tentu, selain karakteristik dasar pemimpin dan kepemimpinan tadi masih terdapat sejumlah faktor yang ikut menopang keberhasilan para pemimpin pemerintah dalam pengelolaan lingkungan seperti:
a. Kompetensi, yakni keahlian dalam mengelola pemerintahan agar tetap berjalan sesuai dengan alur tujuan yang hendak dicapai.
b. Kapabilitas, yakni kemampuan menjabarkan program ke dalam aktivitas yang terencana, detil, tajam dan terarah serta partisipatif.
c. Kredibilitas, yakni masyarakat terhadap percaya bahwa sang pemimpin serta program-program yang dijalankan atas dasar keyakinan , semua itu akan memberi manfaat bagi semua. (Bukan hanya demi popularitas pemimpin atau agenda korupsi yang tersembunyi)

Celakanya, dengan lahirnya otonomi daerah, banyak dijumpai pemimpin didaerah mengejar Penerimaan Asli Daerah (PAD) yang pada gilirannya mengorbankan lingkungan.Dalam setiap kampanye pilkada utamanya tingkat provinsi dan kabupaten kota, sering dijumpai janji janji yang bila ditelusuri pada saat pemerintahannya berlangsung, tidak jarang berkolusi dengan pengusaha membangun wilayah dengan mengorbankan lingkungan.Temuan-temuan empiris ini harus dicermati dengan baik oleh berbagai pihak, utamanya dalam segi perencanaan, implementasi dan pengawasan jalannya pembangunan.Kekuasaan yang melekat pada “Raja-Raja kecil” sebagai dampak negatif otonomi daerah harus menjadi bagian penting dalam penyusunan berbagai per undang-undangan dan peraturan peraturan yang dilahirkan oleh pemerintah dalam semua tingkatan, utamanya sektor lingkungan hidup.Kehadiran “Raja-Raja kecil” adalah fakta yang tak terelakan, Mantan Menteri mengejar jabatan walikota dan gubernur, anggota DPR RI aktif , berlomba-lomba memperebutkan jabatan “raja kecil”, dan banyak lagi contoh pejabat tinggi nekat turun mengejar jabatan “raja-raja kecil” dengan dalih ingin membangun langsung di daerah.Ungkapan Belanda yang diterapkan di Indonesia pada zaman kolonial mengatakan “BETER EEN KLEINE HEER DAN EEN GROTE KNECHT “ yang artinya LEBIH BAIK JADI RAJA KECIL DARIPADA PESURUH BESAR, ternyata masih melekat pada sebagian masyarakat elit kita dan kalau dicermati, ungkapan ini pada hakekatnya mengandung unsur penyimpangan kekuasaan.

*) Staf Khusus Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Bidang Pembangunan dan Pengembangan Wilayah.

RAKOREG PPLH SUMAPUA, Makassar, 07 Nopember 2008