Jumat, 21 November 2008

Bumi Bukan Milik Kapitalis

Oleh : Lukman F Mokoginta


Sejak Indonesia Merdeka 63 tahun yang lalu, berbagai kontradiksi yang terus menerus membelit kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, tentu menjadi pertanda adanya masalah fundamental yang tidak terpecahkan, bahkan kemungkinan tidak disadari bersama. Ancaman krisis energi, kelangkaan bahan pangan, bencana lingkungan berupa banjir, longsor, naiknya permukaan air laut, puting beliung, hadirnya berbagai macam penyakit, musim yang tidak konstan dan cuaca yang cepat berubah.Kejadian itu baru mulai disadari setelah berkumpulnya 2500 pakar lingkungan di Paris tahun 2006 lalu dalam pertemuan IPCC yang kemudian menegaskan bahwa bencana yang kerap terjadi pada dekade terakhir ini merupakan dampak terjadinya perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global.Dipastikan pula bahwa pemanasan global tidak serta merta terjadi, tapi murni merupakan akumulasi ulah manusia yang berlomba-lomba mengeruk bumi untuk membangun kapital se besar-besarnya mulai dari perorangan, kelompok kecil, konglomerat sampai pada tataran negara yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mengatur miliunya, negara sampai pada ekspansi penguasaan negara lain.

Dalam skala global, tidak ada satu negarapun yang bebas dari dampak perubahan iklim.Semua ini tidak lepas dari kapitalisasi yang telah berkembang sejak revolusi industri tahun 1750 , ratusan tahun yang lalu dan semakin lama semakin eskalatif.Tumbuhnya industri sejak James Watt menemukan mesin uap, telah merangsang manusia untuk mengeruk alam , bisnis pertambangan dengan down streamnya, bisnis pangan dengan pertumbuhan industrinya, bisnis properti, bisnis sandang dengan pertumbuhan industri tekstil, bisnis perumahan dengan hadirnya berbagai estat, bisnis informasi dan teknologi informasi serta berbagai kegiatan di darat, laut maupun udara, tidak berdiri sendiri tetapi secara kumulatif memberikan andil dalam pengrusakan alam yang pada gilirannya memacu peningkatan emisi gas buang.

Kehancuran bumi dengan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan , secara kasat mata dapat dilihat bahwa hal itu bukan hanya sebagai akibat dari upaya sekelompok manusia untuk survive dalam hidupnya, namun jelas unsur kekuatan modal menjadi penggerak utama dalam menambang kekayaan alam untuk kepentingan melipatgandakan kapitalnya.


Jebakan Pesona Kapitalisme

Dalam sejarah Indonesia merdeka, eksploitasi sumber daya alam mulai gencar terjadi sejak terbit Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang telah memberi kemudahan bagi pihak asing mengelola sumber-sumber kekayaan Indonesia. UU yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno hanya beberapa saat menjelang pemakzulannya oleh MPRS ternyata menjadi berkat tersendiri bagi para perancang pembangunan era Orde Baru. Penerapan kebijakan politik ekonomi “pintu terbuka” yang kemudian mengintegrasikan perekonomian Indonesia sepenuhnya ke dalam struktur perekonomian internasional, seakan menjadi “karpet merah” bagi Trans National Corporations (TNCs) bebas beroperasi di Indonesia.

Kapitalis asing yang sebelumnya oleh Bung Karno dituding sebagai biang dari kolonialis-imperialis –dan karena itu dianggap sebagai musuh revolusi— justru dielu-elukan oleh para elite Indonesia seakan kehadirannya membawa rahmat bagi negeri ini. Konflik ideologis yang terjadi pada era perang dingin dan masa sebelumnya yang selain menempatkan penganut paham kapitalisme pada posisi berseberangan dengan komunisme, juga menjadi sasaran kritik para pemimpin negara-negara baru bekas jajahan barat, secara tidak langsung mendorong terjadinya metamorfosis kapitalisme sehingga penerapannya menjadi lebih lentur dan kerap berwajah humanis.

Sesungguhnya, performance kapitalisme pasca perang dunia ke dua jauh dari wajah aslinya sebagaimana diulas dalam berbagai literatur. Perubahan ini pula, yang menyebabkan kehadirannya sulit dideteksi sehingga tidak terantisipasi, terutama oleh negara-negara berkembang.

Di Indonesia, kebijakan pembangunan yang berwatak kapitalis di era Orde Baru secara ideologis hadir dengan kemasan melalui akselerasi pembangunan 25 tahun yang sangat menguasai alam pikiran para penggagas pembangunan Indonesia saat itu. Kehadirannya yang mempesona karena dinilai mendorong terjadinya proses modernisasi, seraya menjanjikan masa depan gemilang, atau oleh Rostow disebut sebagai fase “lepas landas” menyebabkan paradigma pembangunan tersebut bisa diterima dengan lapang dada, bahkan cukup laris di berbagai negara berkembang.

Jubah pembangunan yang sebenarnya turun dari kapitalisme, atau kapitalisme berjubah humanisme semakin diyakini dapat memberi solusi terhadap masalah kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara berkembang terutama ketika masyarakat dunia menyaksikan kebangkrutan komunisme yang disertai dengan bubarnya salah satu negara adidaya, Uni Soviet.

Akan tetapi pada prakteknya, pembangunan ternyata tidak mampu menghilangkan watak asli kapitalisme yang rakus dan eksploitatif. Di Indonesia, keadaannya pun menjadi lebih parah akibat dalam fungsi serta perannya, negara cenderung memilih menjadi pengawal dan pelayan kapitalis asing. Akibatnya, penguasaan negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang menjadi amanat konstitusi mengalami distorsi dalam pemaknaannya.

Kekuasaan negara atas bumi serta kekayaan alam, misalnya, kerap diartikan sebagai adanya hak penuh dari negara mengijinkan kapitalis mengeksploitasi semua sumber daya alam dan lingkungan yang ada di negeri ini. Sementara hak-hak masyarakat atas bumi yang diperoleh secara tradisional dan telah eksis turun temurun sering diabaikan. Keadaan ini semakin diperparah oleh karakter pembangunan yang cenderung anti ekologi. Kuatnya pengutamaan terhadap pembangunan ekonomi sering harus dibayar mahal dengan kerusakan ekologi dengan berbagai implikasinya.Ekonomi menjadi panglima dan secara signifikan merubah perilaku manusia menjadi hedonis individualis.

Modernisasi pertanian di pedesaan, misalnya, secara konseptual konon dapat memakmurkan petani, namun yang terjadi justru ketergantungan para petani terhadap industri pertanian yang menjadi produsen pupuk, benih, produsen obat anti hama, dan juga industri pengolah hasil pertanian yang justru dikuasai oleh para kapitalis.

Jadi masalah, kendati sebenarnya telah banyak pengalaman yang bisa jadi indikator kegagalan pembangunan berbingkai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun banyak negara berkembang –termasuk Indonesia—sulit keluar dari kemiskinan. Tumbangnya regim Soeharto yang berkuasa selama 30 tahun , tidak serta merta membawa perubahan yang berarti bagi perekonomian bangsa. Bahkan sebaliknya, kuatnya ketergantungan Indonesia kepada simbol-simbol kapitalis internasional yang hadir dengan dalih membantu negeri ini dari keterpurukan telah membawa bangsa ini kedalam jeratan neokolonialisme- neoimperialisme (nekolim) yang terus menerus mengeruk isi bumi ini. IMF (International Monetery Fund) dan World Bank, adalah bagian dari instrumen kapitalis dalam menjalankan misi neokolonialisnya, yang oleh banyak kalangan dinilai sangat berpengaruh terhadap penentuan berbagai kebijakan politik ekonomi di Indonesia, termasuk pencabutan subsidi BBM yang mengundang rekasi keras dari berbagai kalangan terutama para mahasiswa.

Potensi Kegagalan

Meski saat ini akan sulit melacak kapitalisme dan kolonialisme dengan wajah klasiknya, namun berbagai varian yang muncul kemudian cenderung tidak meninggalkan karakteristik utamanya, yakni fleksibilitas dalam membangun dominasi serta eksploitasi, terutama terhadap sumber-sumber daya strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Menguatnya fenomena globalisasi –akibat kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi—post perang dingin bahkan meyakinkan banyak pihak, bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah globalisasi kapitalisme, dimana peran pemilik modal semakin menentukan wajah dunia disemua aspek.

Pendapat yang sama juga muncul ketika pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu yang merisaukan manusia sejagat, terutama karena gagasan mengatasi masalah tersebut lebih banyak datang dari negara-negara kapitalis, ketimbang negara-negara berkembang yang merupakan elemen paling rentan dari ancaman.

Yang menjadi masalah, banyak diantara penentu kebijakan ikut larut di dalam kesimpulan ini, sehingga cenderung menerima apa adanya. Dan bagi Indonesia, hal ini pula tampak menjadi hambatan untuk keluar dari krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlanjut. Regim berkuasa memang telah berganti, namun logika pemikiran yang membingkai kebijakan-kebijakan pembangunan tampak tak berubah. Masih didasarkan pada logika pembangunan yang berjiwa kapitalisme. Akibatnya, disadari atau tidak, semua potensi bangsa –baik manusia maupun alam-- direduksi dan dipahami sebagai kapital semata, yang pada gilirannya mendegradasi total nilai-nilai sosial.

Penetrasi nilai-nilai baru yang menempatkan pemilikan modal sebagai dewa penolong , memang cukup membius karena selain dampaknya cukup menakutkan, tapi juga menjanjikan keindahan alam kayangan yang menyenangkan bagi bagi setiap orang. Hal ini pula, yang membawa sebagian orang kepada kesimpulan bahwa pada saatnya bumi dan segenap isinya akan menjadi milik kapitalis.

Namun, banyak orang lupa, bahwa nilai-nilai kemanusiaan, tidak akan mungkin dapat direduksi hingga pada titik paling rendah, dan karena itu cepat atau lambat akan bangkit perlawanan terhadap perendahan harkat dan martabat manusia dan lingkungan. Di Indonesia, pembangunan dalam kurun lebih dari tiga dekade memang mampu melahirkan perubahan yang amat fundamental kearah modernisasi. Akan tetapi, masih tebalnya lapisan masyarakat miskin, terjadinya kerusakan lingkungan, rapuhnya ketahanan ekonomi sementara pengurasan kekayaan alam berlangsung dengan dahsyat, niscaya membangkitkan kesadaran rakyat akan kegagalan pembangunan yang berwatak kapitalistik.

Dalam perspektif pertarungan ideologis, kekuatan kapitalis dunia memang berhasil memenangkan pertarungan pada post perang dingin (blok barat vs blok timur), namun persoalannya akan menjadi lain ketika mesti menghadapi tuntutan hati nurani kemanusiaan menentang penjajahan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Alotnya, konflik Utara vs Selatan, yang secara ekonomi politik berwujud pertarungan kepentingan antara negara-negara industri maju dengan negara-negara berkembang, bisa menjadi salah satu indikator kegagalan kapitalisme menguasai dunia, karena bumi memang bukan milik kapitalis, tapi milik Tuhan dan manusia dengan seluruh nilai-nilai kemanusiaannya. Bahkan cukup banyak kejadian yang menunjukan bangkitnya perlawanan sengit terhadap degradasi nilai sosial dan kemanusiaan, antara lain seperti hardikan delegasi Papua Nugini terhadap Amerika Serikat di Konperensi Perubahan Iklim yang lantang menantang dengan ucapan “be a leader or get out.”

Kini setelah 63 Indonesia Merdeka , haruskah kita ferus mendewakan kapitalisme sebagai dewa penyelamat menuju indonesia yang Tata Tentrem Kerta Raharja ? Untuk itu harus ada harga diri yang meyakini bahwa bumi bukan milik kapitalis.

Tidak ada komentar: