Jumat, 28 November 2008

KELUARGA BERENCANA DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Lukman F Mokoginta*)


Dalam lima tahun terakhir, bencana alam tampak semakin sering melanda tanah air. Banjir, tanah longsor, air pasang, kebakaran hutan, kegagalan panen, hingga mewabahnya beragam jenis penyakit, mengalami perkembangan yang signifikan, baik dalam cakupan wilayah maupun intensitasnya.

Berdasarkan data, beberapa tahun terakhir ini hampir sebagian besar kota di Indonesia bahkan di belahan bumi lain pada umumnya kerap diterjang banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, naiknya permukaan air laut, gagal panen (ribuan ha sawah dan tambak gagal karena banjir ), suhu udara semakin panas. Berbagai jenis ancaman yang menyertainya juga semakin beraneka ragam. Mewabahnya berbagai jenis penyakit baru sekitar 30 jenis penyakit ,seperti demam berdarah, Flu Burung, penyakit kulit, ebola dll muncul di seantero dunia sebagai dampak perubahan iklim (menurut penelitian yang dilakukan Al Gore mantan Wapres Amerika pada 10 tahun terakhir), juga busung lapar, lumpuh layu, kelaparan dll tidak terlepas dari lingkungan yang semakin buruk karena berjubelnya manusia dalam satu kawasan, lebih khusus lagi di daerah yang padat penduduk.

Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali mengakibatkan perambahan terhadap ruang-ruang muka bumi yang mestinya tidak boleh dilakukan.Perambahan ini mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan yang pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri.

Telaah kritis serta analisis dari berbagai pakar terhadap hal tersebut pada umumnya bermuara pada kesimpulan, bahwa terjadinya ekskalasi bencana di tanah air memiliki hubungan yang erat dengan kerusakan lingkungan yang juga meningkat akhir-akhir ini. Terjangan banjir bandang di Sumatera seperti Sibolangit, Padang, Solok, Riau; di Jawa seperti Jakarta dan sekitarnya, Banjarnegara, Semarang, Das Bengawan Solo dll, Kalimantan seperti ; Pontianak, Banjarmasin, Palangka Raya , Sulawesi seperti ; di Gowa, Baawakaraeng, Palu, Gorontalo, Minahasa, Bolaang Mongondow, Maluku, Papua. , dan di beberapa tempat, misalnya, pada dasarnya merupakan akibat degradasi lingkungan (hinter land) yang mengganas di kawasan tersebut.

Demikian pula, tergenangnya duapertiga wilayah Jadebotabek (Jakarta, Depok, Bogor Tangerang, Bekasi) dan berbagai wilayah di Indonesia beberapa tahun belakangan ini , sudah jelas merupakan akibat degradasi lingkunganperkotaan di kawasan ini yang antara lain tercermin dengan berkurangnya area resapan air, sistem drainase kota yang tidak memadai.

Meningkatnya ancaman bencana akibat kerusakan lingkungan, tampak semakin nyata ketika banjir Bengawan Solo menerjang wilayah beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur beberapa waktu lampau. Menurut analisis berbagai institusi, kejadian yang diawali dengan terjadinya tanah longsor di Tawangmangu ini, jelas erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) Bengawan Solo, akibat perubahan fungsi lahan yang amat drastis di kawasan tersebut dalam lima tahun terakhir.
Degradasi Lingkungan

Terjadinya degradasi lingkungan hidup di suatu kawasan, kerap dipandang sebagai konsekuensi dari pertumbuhan penduduk, sehingga dinilai sebagai suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Bertambahnya jumlah penduduk dan pada gilirannya mendorong peningkatan kebutuhan akan lahan –untuk pemukiman dan penyediaan sarana penunjang—serta sumber daya alam, memang pada akhirnya dapat menurunkan derajat kualitas lingkungan hidup. Bahkan, bila eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup, sehingga akhirnya menimbulkan berbagai dampak yang dapat mengancam kehidupan penduduk.

Fenomena ini telah terjadi di Indonesia, jauh sejak Indonesia belum merdeka. Akibat laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, serta ketergantungan yang absolut pada sumber daya alam, menyebabkan eksploitasii sumber daya alam menjadi suatu hal yang wajar. Taraf kehidupan masyarakat kian modern pun, tampak belum mampu mengubah pola pandang seperti ini. Bahkan sebaliknya, pertambahan jumlah penduduk, dengan sendirinya memicu peningkatan akan kebutuhan energi dan wilayah. Padahal seperti diakui para pakar, energi fosil yang dipakai saat ini justru tidak ramah lingkungan. Bahkan hal tersebut kini telah menjadi masalah sejagat, karena pencemaran lingkungan oleh polusi dan pembuangan limbah, kerusakan lingkungan karena eksplotasi yang semena-mena,,menimbulkan emisi karbon, yang menimbulkan “efek rumah kaca” yang memicu pemanasan global (global warming) yang berdampak pada perubahan iklim (climate change) sehingga mengancan kehidupan di planet bumi.

Masalah pelestarian lingkungan dan eksploitasi alam memang dilematis, sebab argumentasi yang mendasarinya sama yakni demi peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun, sebagaimana terbukti, eksploitasi alam secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup, tidak selalu mendorong peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Bahkan sebaliknya, justru membawa malapetaka dan melestarikan kemiskinan dari generasi ke generasi.

Pendekatan Berbasis Manusia

Dalam upaya mengatasi kemiskinan, selama ini Indonesia lebih mengedepankan pendekatan tradisional yang berorientasi pada pemanfaatan wilayah dan eksploitasi sumber daya alam. Penyelenggaraan program kolonisasi di jaman penjajahan dan transmigrasi setelah Indonesia merdeka adalah salah satu energi untuk mendorong program dimaksud untuk pemerataan penduduk dan sekaligus menekan pertambahan penduduk di Jawa dan Bali. Akan tetapi, kenyataannya program tersebut belum sepenuhnya memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, memasuki dekade 1970-an, pemerintah menambah energi pendekatan baru yang lebih menitikberat pada pembinaan manusia dengan menekan angka pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Program Keluarga Berencana (the Family Planning).

Ditilik dari aspek lingkungan hidup, esensi keluarga berencana adalah pengendalian pertumbuhan penduduk agar perkembangnya tetap seimbang dengan dayai lingkungan hidup, sebab hanya dengnan demikian, kualitas kehidupan keluarga tetap terjamin, bahkan lebih meningkat sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Dengan adanya keseimbangan antara daya dukungan lingkungan hidup, dengan jumlah penduduk, maka kesenjangan yang menjadi akar penyebab kemiskinan perlahan tapi pasti dapat diatasi.

Kendati pada awalnya program Keluarga Berencana mengundang banyak pertanyaan, namun patut diakui bahwa dalam perkembangannya program tersebut berhasil diterima masyarakat, bahkan menjadi salah gerakan sosial yang efektif dalam peningkatan kualitas hidup manusia . Melalui sosialisasi yang intens, keluarga berencana kini telah memasyarakat dan warga dapat menjalankannya secara swakarsa mandiri, terutama dalam hal pengendalian kelahiran.Ada rasa malu dikalangan warga masyarakat bila mempunyai anak lebih dari dua atau tiga orang.Sayangnya di era reformasi sekarang ini, terasa bahwa program ini mengalami kemandegan.

Sosialisasi tentang pentingnya KB nampaknya mengalami penurunan .Posyandu, terutama daerah pedesaan, tidak sepopuler masa lalu. Namun demikian, sebagai strategi pengentasan kemiskinan, implementasi program keluarga berencana, mesti tetap berlanjut, meski bentuknya lebih bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif yang berkembang di masyarakat. Ini sebab sejak reformasi bergulir di tanah air, gaung keluarga berencana terkesan agak meredup, bahkan seakan-akan tidak lagi dipandang penting karena dianggap bagian dari kebijakan penguasa masa lampau.

Memang harus diakui bahwa pada masa orde baru dirasakan adanya “intimidasi” dari kalangan penguasa untuk mendorong keberhasilan program ini.Untuk saat ini, keberhasilan KB masa lalu sudah dirasakan manfaatnya.Oleh karenanya maka program ini harus diteruskan dengan pola “ntimidasi “ dalam bentuk yang lain melalui pendekatan pelestarian lingkungan.Kalau pada masa itu 2 anak cukup untuk kesejahteraan keluarga, maka dimungkinkan pola sekarang ini dibumbui dengan 2 anak cukup untuk pelestarian lingkungan menuju keluarga yang sejahtera.

Integrasi Program

Sebagai bagian dari strategi nasional dalam mensejahterahkan masyarakat sembari melestarikan lingkungan hidup, Program Keluarga Berencana seyogyanya ditempatkan secara menyatu (integratif) dengan program pembangunan dalam usaha pelestarian lingkungan . Ia tidak hanya terbatas pada soal pengendalian pertumbuhan penduduk, tapi juga harus menyentuh berbagai aspek yang berkaitan dengan penguatan masyarakat.

Dalam konteks itu, maka aspek dan dimensi pelestarian lingkungan hidup tentu sudah saatnya itu tersentuh oleh program keluarga berencana sebab dalam kesadaran global, ancaman terhadap lingkungan hidup tidak hanya dapat mencampakkan manusia ke jurang kemiskinan, tapi juga memicu datangnya bencana yang dapat menghancurkan mata rantai kehidupan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya, strategi pelestarian lingkungan harus menjangkau dimensi kependudukan, agar keduanya berjalan dalam irama yang harmoni.

Sebagai upaya yang berorientasi kepada penguatan masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera, gerakan Keluarga Berencana dan gerakan Pelestarian Lingkungan Hidup, harus berjalan secara paralel dan saling menunjang. Dengan merespons isu-isu lingkungan, gerakan Keluarga Berencana akan terus memiliki nilai aktual dan relevan dengan perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa semakin sesaknya bumi ini oleh manusia, maka semakin besar pula potensi perusakan lingkungan yang melekat didalamnya.Hal ini dapat diartikan bahwa kegagalan dalam program keluarga berencana merupakan pemicu utama dalam perusakan lingkungan karena tidak dapat disangkal bahwa setiiap orang yang ada dimuka bumi ini membutuhkan konsumsi tertentu (butuh air, makanan, pakaian, kesehatan, permukiman, usaha , dll ) yang pada gilirannya menghasilkan limbah tertentu yang mengancam lingkungan hidup.

Berangkat dari pemikiran tersebut diatas, korelasi antara keluarga berncana dan pelestarian lingkungan adalah sangat kuat dan dapat dikatakan seperti dua sisi dalam satu mata uang yang tidak terpisahkan.Sebab dengan menekan pertumbuhan penduduk secara otomatis akan mengurangi intervensi terhadap lingkungan.

Sisi lain dan penting pula untuk dipahami adalah bahwa Keberhasilan Keluarga Berencana dimasa orde baru (memperoleh penghargaan PBB) tidak terlepas dari metode dan kemampuan mengelola program sampai kepada tataran grass root.Sementara, keberhasilan pelestarian lingkungan juga tidak terlepas dari pengendalian tataran akar rumput agar memahami dan sekaligus berpartisipasi dalam usaha pelestarian lingkungan.

Kesimpulan

v Pelestarian lingkungan hidup harus diinternalisasikan dalam program keluarga berencana
v Program Keluarga Berencana yang telah sukses dimasa orde baru, perlu diteruskan diera reformasi.
v Keberhasilan Keluarga berencana dapat mendorong pelestarian lingkungan hidup.


*) adalah Staf Khusus Menteri Negara Lingkungan Hidup RI.

Tidak ada komentar: